Penulis : M. Ishom El-Saha. Editor : Hairuzaman
Selama ini teologi sering diperalat kekuasaan. Seolah-olah tanpa kekuasaan, maka teologi tidak akan hidup. Padahal teologi lahir sebagai perlawanan kekuasaan. Oleh sebab itu, membuat jalan keluar (exiting) teologi dari arus kekuasaan penting untuk dipikirkan.
Bagaimana tidak demikian? Umat Islam sejatinya banyak utang budi kepada ahli teologi yang melahirkan ilmu Kalam. Berkat mereka cabang ilmu tafsir yang lebih dulu lahir dalam khazanah keilmuan Islam berkembang pesat. Bukan itu saja, cabang ilmu fiqh yang lahir belakangan tapi menggeser pamor ilmu tafsir dari anak tangga keilmuan Islam pada dasarnya juga dipengaruhi ilmu Kalam.
Berbeda dengan ilmu tafsir yang awal mulanya terfokus pada sumber riwayat, maka ilmu kalam basic knowledge-nya adalah nalar. Kendati begitu, bukan berarti masing-masing tersekat dalam dimensi masing-masing. Basic knowledge ilmu kalam banyak diadopsi kalangan mufassir untuk memperkuat corak tafsir bi al-riwayat menjadi tafsir adabi dan tentu saja tafsir bi al-ra’yi.
Kemapanan cabang ilmu tafsir dan popularitas cabang ilmu Kalam di tengah-tengah peradaban Islam lalu membangkitkan semangat ilmuan muslim melakukan eksperimen-eksperimen secara intensif hingga melahirkan cabang ilmu fiqh dengan berbagai cluster ilmunya. Jadi, ilmu Kalam atau teolog bagaikan dapur mesin khazanah keilmuan Islam.
Tapi sayang, peran penting dan pamor teologi Islam itu justru jatuh dan dianggap biang keladi pemecah ummat. Pendekatan teologi Islam malah dikonotasikan menjadi aliran sempalan Islam ketika teologi menjadi alat kekuasaan dalam rentang kekuasaan Islam. Dengan dalih teologi, kekuasaan berupaya keras mengendalikan dan mengekang perkembangan teologi yang dari awal basic knowledge-nya ialah nalar.
Semua teolog dan filosof Islam sebenarnya menyepakati nilai besar subjektifitas nalar. Mereka menganggap teologi yang dianutnya benar. Karena telah melalui proses pendekatan ilmiah. Akan tetapi, mereka juga tidak mau menyalahkan teologi dari kelompok lainnya. Para penguasalah yang menjadikan teologi sebagai paham absolut dalam rangka memperkokoh teologi kekuasaannya.
Kondisi yang demikian itu tak juga lekang dengan berakhirnya orde monarkhi Islam. Di masa kolonialisme Barat, teologi juga dijadikan alat untuk menindas dan menyingkirkan teologi yang mengancam kepentingan mereka. Semangat renaisans Barat berusaha dielaborasikan dengan teologi puritan Islam. Semula tujuannya sederhana, yaitu memisahkan unsur masyarakat yang terhubung jaringan patronase, seperti kiai-santri, sultan-rakyat, agar tidak ada pengerahan massa secara besar-besaran. Pertimbangannya jika ada kerumunan massal maka sangat mudah disulut untuk melakukan pemberontakan. Karenanya musuh besar kolonialisme ialah teologi Sunni dan Sufisme.
Usaha untuk memperalat dan mengkooptasi teologi berlanjut di masa kemerdekaan. Bangsa-bangsa yang baru merdeka. Akan tetap di bawah sponsor Barat berkejaran melakukan pembangunan fisik dengan semangat positivistik. Agar semua masyarakat di dunia ikut dalam alur rekayasa sosial mengarah developmentalisme, lagi-lagi teologi puritanisme Islam diperalat.
Dengan membuat dua kutub Islam modernis vs Islam tradisionalis berdasarkan model pendekatan kolonialisme. Semua yang berhubungan dengan Islam tradisionalis dianggap bid’ah, khurafat, syirik, dan sebagainya. Padahal apa yang dicap negatif itu adalah bagian dari sikap berteologi dari satu teologi yang sudah mapan.
Demikian pula ketika dunia memasuki era globalisasi, teologi kembali diperalat. Teologi Islam puritan yang memiliki misi transnasional dianggap bisa merekayasa massal untuk berpikir dan bertindak sama, seperti yang diinginkan dari misi globalisasi. Betapa tidak demikian?, ketika suatu masyarakat sudah tidak mengenal budayanya, kebangsaannya karena dirusak secara internal dengan teologi puritanisme, maka mudah sekali dihancurkan.
Kita tentu paham, siapa yang dapat keuntungan besar di era globalisasi sekarang?
Bertolak dari masalah itulah, pantas jika kita keluar dari teologi kekuasaan. Mulai sekarang kita kembali letakkan teologi pada khittahnya untuk membangun peradaban masa depan.