Predikat Cumlaude di Perguruan Tinggi dan Implementasinya di Masyarakat

Oleh : Hairuzaman.

(Penulis Buku dan Praktisi Pers)

Bagi kalangan mahasiswa untuk meraih predikat Cumlaude (Nilai tertinggi) saat menyandang gelar Sarjana, tentu saja tidaklah mudah. Namun, harus melalui proses panjang yang nelelahkan dengan belajar secara sungguh-sungguh ketika belajar di Perguruan Tinggi. Prestasi Cumlaude merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa yang lulus dari kampus tempat menimba lautan ilmu pengetahuan.

Dengan diraihnya predikat Cumlaude, seorang Sarjana mempunyai beban moral yang tidak ringan. Pasalnya, ia harus mampu mengejawantahkan ilmu yang yang diperolehnya saat belajar di Perguruan Tinggi. Bagi Sarjana yang menyandang Cumlaude juga harus mampu mwnjafi agent of change (Agen perubahan) di tengah-tengah masyarakat.

Selain itu, dituntut pula mampu mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai landasan filosofis yang meliputi pendiidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tentu saja sebagai kalangan intelektual, sosok seorang Sarjana harus mampu melakukan berbagai perubahan dalam struktur sosial. Sehingga eksistensinya akan bermanfaat di tengah-tengah masyarakat dan hingar-bingarnya era digitalisasi sekarang ini.

Setelah terjun di tengah-tengah masyarakat, seorang Sarjana harus menyadari bahwa ia tidak lagi terpenjara di “menara gading” sebagai tempat terpencil, terisolasi dan jauh dari realitas kehidupan sosial.

Kampus sebagai “Menara Gading” merujuk pada konsep bahwa institusi pendidikan tinggi (kampus) seringkali dianggap sebagai tempat yang terpencil dari realitas masyarakat dan dunia nyata. Istilah ini berasal dari metafora “Menara Gading” yang menggambarkan tempat yang ideal, terpencil, dan terisolasi dari masalah-masalah dunia nyata.

Dalam konteks ini, “Kampus sebagai Menara Gading” dapat diartikan sebagai:

1. *Keterputusan dengan realitas*: Kampus seringkali dianggap sebagai tempat yang terpencil dari realitas masyarakat dan dunia nyata, Sehingga mahasiswa dan akademisi kurang memahami masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat.

2. *Fokus pada teori*: Kampus seringkali difokuskan pada pengembangan teori dan penelitian akademis, yang kadang-kadang tidak terkait langsung dengan masalah-masalah praktis di lapangan.

3. *Kurangnya aplikasi praktis*: Kampus seringkali dianggap pula kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam konteks praktis, terutama di masyarakat.

Namun, banyak kampus yang berusaha untuk mengatasi keterputusan ini dengan mengembangkan program-program yang lebih aplikatif, seperti magang, penelitian lapangan, dan pengabdian masyarakat. Dengan demikian, kampus dapat menjadi lebih relevan dan berdampak positif bagi masyarakat. Dimana masyarakat daoat dikihat puka sebagai laboratorium sosial.
[14/10 06:13] Hrz / Infokom: Menyandang oredikat Caumlaude bagi seorang Sarjana bukanlah sebuah jaminan ia bjsa sukses di tengah-tengah masharakat. Termasuk pula di dunia kerja yang saat ini penuh persaingan yang begitu ketat. Jika tak mendapatkan pekerjaan yang layak, seorang Sarjana harus mampu membuka lapangan pekerjaan baru untyk menwkan angka pengangguran yang semakin antre begitu panjang. Bukan justru kehadirannya menjadi beban pemerintah dan berdiri di barisan pengangguran yang mengharapkan perhatian pemerintah.

Predikat Cumlaude adalah sebuah pengakuan atas prestasi akademik yang tinggi dan merupakan kebanggaan bagi mahasiswa yang mencapainya. Tanggung jawab seorang sarjana yang menyandang predikat Cumlaude adalah untuk menjadi agen perubahan di masyarakat dan dapat mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Kampus sebagai Menara Gading merupakan konsep yang mendeskripsikan kampus sebagai tempat yang terpencil dari realitas kehidupan sosial masyarakat dan dunia nyata.

Tantangan yang dihadapi oleh sarjana setelah lulus ialah untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam konteks praktis di masyarakat dan dunia kerja. Kunci kesuksesan bagi sarjana dengan menjadi inovatif, kreatif, dan mampu membuka lapangan pekerjaan baru.

Tantangan yang mereka hadapi tidaklah ringan dalam mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan mereka. Dengan demikian, sarjana dapat menjadi agen perubahan yang positif dan memberikan kontribusi pada pembangunan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *