Veganisme dan vegetarianisme tumbuh pesat memacu pertumbuhan industri makanan, kafe, dan kosmetik. Mengapa itu terjadi?
Veganisme dan vegetarianisme yang semakin digandrungi menyuburkan pertumbuhan kafe, pemesanan makanan daring, hingga penjualan kosmetik. Mulai dari isu lingkungan, kesehatan, sampai kesejahteraan hewan memantik kesadaran pelaku untuk mengubah gaya hidupnya.
Kafe di sudut Cilandak, Jakarta, itu nyaman dengan kapasitas sekitar 10 pengunjung di ruang berpendingin udara. Interior berkonsep industrial dilaburi warna-warni netral dengan lantai semen. Konsumen juga bisa menempati lantai atas dan ruang belakang yang terbuka dengan 50 kursi.
Mad for Coffee, demikian lokasi kongko-kongko sejumlah mahasiswi berpenampilan modis tersebut, Kamis (25/1/2024). Mereka di antaranya terlihat mengenakan kemeja dipadu crop top, bot, dan blazer. Panas pun berangsur pudar menjelang sore.
Pengeras suara melantunkan ”High School in Jakarta” yang dipopulerkan Niki seraya sesekali ditingkahi denging mesin peracik kopi. Sudah sekitar pukul 15.30, namun pembeli masih berdatangan untuk memesan makanan, kopi, sampai camilan. Makanan andalan, nasi empal, dibanderol seharga Rp 52.000. Hidangan lain di antaranya nasi dendeng rica balado, burger ayam krispi, dan pempek komplet.
Menu daging-dagingan lumrah mencuatkan anggapan soal Mad for Coffee yang seragam dengan kafe lain, namun tak kurang terkejutnya pula sebagian tamu mendapati hidangan itu terbuat dari tanaman. Pelanggan bergaya trendi yang asyik berswafoto seraya tak henti mencerocos mengabsahkan masifnya veganisme hingga dilakoni generasi muda.
Chandra Revo (33) memang mengincar segmen itu dengan mendirikan kafenya sejak 2021. Prospek yang berkilap ia ungkapkan dengan peningkatan penjualan. ”Kecenderungannya naik dari rata-rata 1.500 transaksi per bulan waktu awal dibuka. Sekarang, bisa mencapai 3.000 transaksi per bulan,” ucapnya.
Kalau lebih sehat, orang bakal belok sendiri. Biasanya, kalau mau coba, konsumen harus ambil paket seminggu atau sebulan. Saya harian pun enggak masalah.
Revo tercengang dengan order yang melampaui ekspektasi berkat merebaknya veganisme. Vegan sejak tahun 2017 itu tak asal menyajikan suguhan. Ia mengandalkan ragam susu alternatif, terutama untuk kopi. ”Selain almon, mete, gandum, dan kedelai, kadang bawa yang unik dari luar negeri, seperti susu kacang polong atau macadamia,” ujarnya.
Ada pula Priangga Amalo (43) yang turut mencicipi lezatnya bisnis kuliner vegan dengan membesut Degoodfood yang menyodorkan sajian khas rumahan siap saji. Warga Tangerang Selatan, Banten, itu menjajal usahanya saat memenuhi pesanan teman-teman kantor, tahun 2012.
Jadilah ia menyuguhkan ayam kecombrang, empal, dan rendang dalam kemasan dengan berat sekitar 200 gram, masing-masing seharga Rp 110.000, yang bisa dipesan secara daring. Produk lain, tepung telur dadar, dipasarkan seharga Rp 50.000 per 250 gram.
Wisang, demikian sapaannya, melaju meski sempat jatuh bangun. Penjualan yang sedianya hanya 10 porsi per hari lalu melejit sehingga pegawai agen periklanan itu mengundurkan diri, tahun 2015, untuk menggeluti kateringnya. Wisang menuntaskan hingga 100 porsi per hari menjelang pandemi.
Makin maju negara, makin banyak pengetahuan yang meningkatkan kesadaran akan kesehatan dan ’sustanaibilty’.
Semula, ia membawa santapan vegan dari rumahnya. Kolega-kolega Wisang ternyata kepincut dengan lezatnya masakan itu. Puncaknya, 90 persen pelanggan Wisang malah nonvegan. Ia juga menawarkan harga yang tak jauh berbeda dengan rumah makan Padang, bahkan warteg.
”Kalau lebih sehat, orang bakal belok sendiri. Biasanya, kalau mau coba, konsumen harus ambil paket seminggu atau sebulan. Saya harian pun enggak masalah,” katanya. Seporsi saja yang dipesan konsumen tetap akan diantar dengan cakupan Jabodetabek.
Pola kerja publik yang berubah radikal menjungkirbalikkan Degoodfood. Namun, Wisang tetap optimistis meski harus merangkak. ”Sekarang hanya 20 persen dibandingkan waktu penjualan tertinggi dulu. Biar merayap, yang penting ada,” ujarnya tegar. Wisang awalnya vegetarian, tahun 2010, lalu menunaikan veganisme dua tahun berselang.
Vegetarian fleksibel
Pendiri bersama Burgreens, Helga Angelina, menjelaskan, Indonesia sebetulnya unik sebab banyak masyarakatnya merupakan fleksitarian alias vegetarian yang fleksibel. Mereka sadar manfaat lebih makanan berbasis nabati, tetapi tak ingin berkomitmen. Pandemi membuat mereka jadi lebih sadar kesehatan dan lingkungan untuk mengonsumsi makanan plant-based.
”Makin maju negara, makin banyak pengetahuan yang meningkatkan kesadaran akan kesehatan dan sustanaibilty,” kata Helga.
Kesadaran itu tak luput menggairahkan industri sehingga banyak produk plant-based tersedia di supermarket, kafe, dan restoran. Burgreens tak ketinggalan menyambar kesempatan itu dengan mendirikan sister company, Green Rebel, sejak 2020.
Perusahaan rintisan teknologi pangan nabati itu membuat daging dan keju nabati khas rasa Asia. Memiliki 1.200 titik distribusi hingga mancanegara, Green Rebel telah berkolaborasi dengan Tous les Jours, AirAsia, IKEA, dan yang terbaru, Prima Food Solutions.
”Setelah Burgreens jalan, kami sadar budaya kuliner tak bisa dibatasi resep jamur, tahu, tempe, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Orang suka makan dan rasa daging. Kalau mau perubahan, kami harus membuat sesuatu yang mirip tekstur daging supaya bisa diterima,” kata Max Mandias, pendiri bersama dan Chief Innovation Officer Green Rebel.
Larisnya penjualan makanan hingga produk kecantikan dan perawatan diri untuk vegan atau vegetarian turut dicecap Tokopedia. Pemesanan kategori secara daring itu merupakan salah satu yang paling tinggi pada kuartal III 2023.
”Sepanjang tahun lalu, penjualan makanan vegan naik hampir dua kali lipat,” imbuh Head of Communications Tokopedia Aditia Grasio Nelwan. Ia membandingkan peningkatan pada Januari-September 2023 dengan periode yang sama dari tahun 2020. Khusus makanan vegetarian, seperti sayur-mayur, penjualannya juga naik tiga kali lipat.
Sementara penjualan tahu melonjak lebih dari empat kali lipat. Produk kecantikan dan perawatan diri ramah vegan pun kian diminati. ”Terbukti dari kenaikan transaksinya, termasuk makeup (kosmetik) dan skincare (perawatan kulit) lebih dari 10 kali lipat,” ucapnya.
Gairah hidup lebih sehat dengan menjadi vegan juga merambah Surabaya, Jawa Timur. Mari kita simak sepenggal ceritanya. Beberapa kali pengumuman bahwa pameran segera berakhir hari ini, pada Kamis (25/1/2023) pukul 20.00, tampaknya tak digubris pengunjung yang terus memesan makanan di hampir semua gerai di Vegan Festival 2024 yang digelar di Convex & Exhibiton Hall Grand City, Surabaya. Menu makanan dan minuman yang disediakan di semua stan peserta mulai dari makanan tradisional, seperti rawon, soto, pecel, empek-empek, cireng, rujak serut, nasi jagung bebek penyet, dan semanggi Surabaya, hingga aneka makanan kekinian, seperti kebab, takoyaki, dan kentang.
Begitu memasuki area pameran yang berlangsung hingga Minggu (28/1/2024) itu, hampir semua meja diisi pengunjung sambil menyantap pesanan. Membeludaknya pengunjung juga terjadi di hampir semua stan yang menyediakan berbagai menu vegetarian. Seperti diungkap Miaomei (45), koordinator Kantin Sehat Ceria, sejak pameran dibuka siang hari, pengunjung datang bergelombang dan terus-menerus. Stan yang mengambil dua lokasi di pameran tersebut menyediakan minimal 15 menu.
Menurut perempuan asal Jember yang sudah vegan sejak usia 20 tahun ini, kian tahun minat menyantap makanan sehat terus tumbuh. Komunitas ini kolaborasi dengan berbagai instansi rutin menggelar cooking class menu vegan. Jumlah peserta terus-terus bertambah. Bahkan, kegiatan mengolah menu, termasuk membuat bahan baku vegan, bisa digelar beberapa kali setiap tahun. ”Semakin banyak menerapkan hidup sehat, meski tanpa makan daging, semua makanan bebas dari bawang,” katanya.
Resto khusus vegan, termasuk AY Vege, kata Alisia (24), sudah ada sejak 1990 dan resto ini menjadi bisnis sejak kakek neneknya yang memang vegan. ”Awalnya kami hanya menyediakan kerupuk dan sampai sekarang terus berkembang dengan puluhan menu, termasuk menyediakan menu siap saji,” kata Alisia.
”Resto tidak hanya melayani makan di tempat, tetapi juga order secara daring,” imbuh Alisia, yang meski sibuk melayani pembeli tetap bersedia memberikan penjelasan soal menu dan bahan baku produknya.
Salah satu pengunjung, Juni (55), warga Petemon, Surabaya, mengatakan sudah vegan sejak SMA. Makanan favoritnya adalah semanggi Surabaya, yang menurut dia semakin sulit ditemukan. ”Saya senang ada semanggi di sini,” katanya sambil langsung menyantap pesanannya di depan stan Kampung Semanggi Sambikerep.
Daun semanggi memang hanya tumbuh di kawasan Surabaya barat. Untuk bisa mendapatkan semanggi tinggal menunggu kehadiran pedagang semanggi di lokasi tertentu, antara lain di perumahan, toko swalayan, dan pasar tradisional. Rata-rata stan yang ada di pameran menyediakan paling tidak lima menu makanan dan minuman, termasuk produk siap saja.
Luar biasa
Sekretaris Jenderal Indonesia Vegetarian Society (IVS) dan Ketua Vegan Society of Indonesia Dr Susianto Tseng mengatakan, ada kata-kata yang cocok menggambarkan perkembangan vegetarian dan vegan di Indonesia: luar biasa. Vegetarianisme sudah lama berlangsung mengingat makanan tradisional juga berbasis tanaman, sebutlah gado-gado dan pecel.
Vegetarianisme kini mudah dilakukan. Tempat makan di mana-mana. Indonesia juga sudah memiliki 29 sekolah, 4 kampus, 7 rumah sakit, dan 4 hotel untuk pelaku vegetarian dan vegan.
Orang tua umumnya melakukan vegetarianisme karena alasan kesehatan. Namun, 10 tahun terakhir menunjukkan banyak anak muda mulai menerapkan gaya hidup ini lantaran peduli terhadap isu lingkungan dan kesejahteraan hewan.
”Setelah pandemi, kian banyak orang tertarik jadi vegetarian atau vegan,” kata Susianto, yang telah menjalani kehidupan sebagai vegetarian lalu menjadi vegan selama 36 tahun.
Susianto belum punya data baru vegetarianisme Indonesia. Akan tetapi, pada 2017, IVS pernah menyurvei kecil-kecilan dan memproyeksi ada sekitar 3 juta praktisi vegetarian dan vegan di Tanah Air. Ia meyakini jumlahnya bertambah mengingat tempat makan vegetarian terus bermunculan.
”Dulu hanya ada 50-an outlet. Sekarang, kami perkirakan lebih dari 3.000 outlet, tidak termasuk online. Kalau praktisinya tak bertambah, pasti mereka sudah tutup,” tuturnya.
Ia menambahkan, vegetarianisme kini mudah dilakukan. Tempat makan di mana-mana. Indonesia juga sudah memiliki 29 sekolah, 4 kampus, 7 rumah sakit, dan 4 hotel untuk pelaku vegetarian dan vegan.
Bagi orang yang ingin mencoba vegetarianisme, Susianto menyarankan untuk melakukannya bertahap. Misalnya, mengurangi daging hanya beberapa kali seminggu. Atau, berhenti makan hewan berkaki empat dulu, baru hewan berkaki dua, diikuti makanan laut.
Dini A Efendi (30) tertarik mencoba vegetarianisme. ”Pandemi makin menyadarkan tentang kesehatan. Ditambah, aku tak sanggup melihat hewan disembelih dengan cara tak ideal,” ujar karyawan swasta asal Bekasi, Jawa Barat, ini.
Ia mulai mengurangi konsumsi daging tiga tahun terakhir. Makan daging cukup seminggu dua kali. Tapi, jujur, ia masih susah lepas dari ikan dan telur. Perubahannya positif. Badan terasa enteng, tak gampang sakit meski jarang berolahraga, dan urusan ”belakang” jadi lancar.
Lagi pula, konon Hippocrates pernah berkata, ”Biarlah makanan jadi obatmu, dan obat jadi makananmu.