Dunia Pendidikan di Persimpangan Jalan, Quo Vadis Sekolah Rakyat?

Oleh : Hairuzaman.

(Penulis ialah Pemerhati Dunia Pendidikan).

Kebijakan pemerintah pusat dengan mendirikan sekolah rakyat di satu sisi dapat membantu siswa dari keluarga kurang mampu. Pasalnya, seluruh siswa yang notabene dari kalangan keluarga kurang mampu itu diberikan tempat bermukim (asrama). Termasuk pula kebutuhan makan sehari-harinya pun dijamin oleh Kementerian Sosial (Kemensos) RI.

Regulasi sekolah rakyat terintegrasi yang digagas oleh Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini tentu saja disambut antusiasne bagi kalangan siswa, terutama dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi.

Akan tetapi kebijakan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto itu ternyata mempunyai dampak negatif. Sebab, sekolah rakyat dari keluarga kurang mampu tersebut akan menghadapi dilema dan dampak negatif secara psikologis. Karena siswa sekolah rakyat “mengisolasi” dari hiruk-pikuk satuan pendidikan formal lainnya. Sehingga mereka akan merasa dikucilkan. Berbeda dengan sebelumnya yang berasimilasi dengan siswa dari keluarga mampu secara ekonomi.

Karena itu, sekolah rakyat agar siswanya tidak dicap sebagai anak-anak kurang mampu secara ekonomi, sebaiknya menjadi satu atap dengan sekolah formal lainnya. Baik itu jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA/SMK negeri. Sehingga pemerintah tidak perlu membangun gedung baru kembali yang berdampak pada pemborosan anggaran.

Belum lagi untuk pembangunan asrama dan biaya makan gratis yang disediakan oleh pemerintah. Tentu saja makan gratis yang berlaku di sekolah rakyat terintegrasi ini akan tumpang tindih dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dikelola oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang juga dananya bersumber dari APBN.

Sekolah rakyat terintegrasi juga harus merekrut guru PPPK yang jumlahnya tidak sedikit. Padahal saat ini sekolah formal lainnya tengah menghadapi dilema yakni kekurangan guru akibat banyak yang memasuki masa pensiun, mutasi dan yang lainnya. Disisi lain, kebijakan pemerintah saat ini melarang Satuan Pendidikan Formal untuk merekrut tenaga guru honorer.

Kondisi sulit yang tengah dihadapi Satuan Pendidikan Formal (Diluar sekolah rakyat), itu menjadi dilema dan beban berat yang tengah dihadapi sekarang ini. Dengan semakin berkurangnya jumlah guru akibat kebijakan melarang merekrut tenaga honorer dan tidak ada droping guru, maka akan mempengaruhi daya tampung dalam penerimaan siswa baru.

Sementara itu, saat penerimaan siswa baru, antusiasme masyarakat terbilang begitu tinggi. Sedangkan pihak sekolah akan mengambil kebijakan dengan mengurangi rekrutmen siswa baru. Hal ini lantaran dipicu oleh kurangnya tenaga guru dan dilarangnya merekrut tenaga guru honorer oleh pemerintah. Regulasi pemerintah yang dinilai tidak populis ini tentu saja bakal menjadi bom waktu yang akan menimbulkan permasalahan baru di tengah-tengah masyarakat.

Tentu saja pemerintah harus mampu mencari solusi guna mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi oleh Satuan Pendidikan Formal tersebut. Mulai dari sekolah formal jenjang SD, SMP, hingga SMA dan SMK negeri.

Padahal sebaiknya sekolah rakyat itu menjadi satu atap (Satap) dengan pendidikan formal yang lainnya. Sehingga siswa kurang mampu tidak mengasingkan diri dan jauh dari hiruk-pikuk dunia pendidikan formal lainnya. Dengan demikian, selain siswa sekolah rakyat tidak mempunyai beban psikologis, masalah kekurangan guru juga bisa teratasi. Termasuk pula tidak membebani APBN.

Pemerintah diharapkan mampu melakukan terobosan-terobosan baru yang bersifat inovatif di dunia pendidikan. Bukan justru mengambil kebijakan baru yang berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan dengan berkurangnya tenaga pendidikan formal. Karena dengan berdirinya sekolah rakyat itu ternyata akan menimbulkan preseden buruk terhadap wajah pendidikan di Indonesia. Jadi, Quo vadis sekolah rakyat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *