Reporyase : Roni / Nono.
Pemimpin Redakaii : Haorizaman
TANGERANG | Kabarexpose.com —
Pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, kembali menjadi medan konflik kepentingan antara rakyat kecil dan kekuatan kapitalis. Pemagaran laut sepanjang 30,16 Km dengan bambu yang tertancap di lepas pantai utara Kabupaten Tangerang. Bukan hanya ilegal. Akan tetapi juga bukti nyata bagaimana negara gagal melindungi hak-hak nelayan dan ekosistem pesisir. Celakanya, para nelayan kini kehilangan ruang tangkapnya dan dipaksa memutar lebih jauh,. Tak ayal, akibatnya menanggung biaya operasional yang lebih besar.
Sementara itu, pemerintah baru bertindak setelah tekanan publik semakin kuat, meskipun akar permasalahan masih kabur dan penuh kejanggalan. Awalnya, tidak ada pihak yang mengklaim kepemilikan pagar laut ini. Namun, seiring meningkatnya sorotan, kelompok Jaringan Rakyat Pantura (JRP) muncul dan mengaku sebagai inisiator proyek ini. Mereka mengklaim bahwa masyarakat setempat secara swadaya membangun pagar tersebut untuk mencegah abrasi. Namun, kejanggalan terjadi ketika masyarakat pesisir yang mayoritas nelayan yang bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, sanggup mengeluarkan belasan miliar rupiah untuk proyek semacam ini. Beberapa pihak menduga bahwa pemagaran laut ini berkaitan dengan proyek reklamasi raksasa Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), yang hingga kini masih menjadi sorotan karena kontroversinya
Sinyalemen ini muncul lantaran pagar tersebut dianggap sebagai langkah awal untuk mengamankan wilayah laut tertentu demi kepentingan pengembang. Kendati begitu, manajemen PIK 2 dengan tegas membantah keterlibatan mereka dalam proyek ini. Apabila benar mereka tidak terlibat, maka kehadiran pagar ini tetap memunculkan pertanyaan besar bahwa ada pihak yang berani menggelontorkan belasan miliar rupiah untuk proyek ilegal sebesar ini. Fakta ini menguatkan indikasi adanya kepentingan bisnis konglomerat yang tengah mengatur permainan di balik layar yang tersembunyi di dengan narasi “inisiatif warga.”
Pemagaran laut ini berpotensi dapat merusak ekosistem laut, mengganggu arus air, serta membahayakan nelayan yang harus melaut di malam hari. Zona ini sejatinya menjadi wilayah perikanan tangkap dan pengelolaan energi. Bukan untuk proyek yang justru merugikan masyarakat.
Keberadaan pagar laut ini tidak hanya mempersulit akses nelayan, tetapi juga melanggar aturan tata ruang laut yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2023.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dalam siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan, Nomor : :SP.010/SJ.5/I/2025 mengarahkan bahwa segala kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak memiliki izin dasar dan berpotensi merusak keanekaragaman hayati serta menyebabkan perubahan fungsi ruang laut seperti pemagaran laut ini untuk segera dihentikan, sebab tidak sesuai dengan praktek Internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) dan mampu mengancam keberlanjutan ekologi.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Trenggono, menyatakan, pagar ini akan dibongkar jika terbukti tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Namun, sejak September 2024 ketika pagar ini mulai dibangun, pemerintah daerah dan aparat terkait tidak ada tindakan. Jika proyek ini ilegal, kehadirannya selama berbulan-bulan tanpa tindakan tegas mencerminkan kegagalan pemerintah terkait dalam pengawasan dan penegakan hukum.
Nelayan adalah korban utama dari konflik kepentingan ini. Mereka bukan hanya kehilangan akses ke laut, tetapi juga mengalami tekanan ekonomi yang semakin berat.
Akibat pagar laut ini Yeka Hendra Fatika Anggota Ombudsman dalam sidak di lokasi pemagaran laut di Kecamatan Kronjo Kabupaten Tangerang, Banten pada Rabu (15/1) menyampaikan diperkirakan kerugian nelayan selama 5 bulan terakhir setidaknya mencapai Rp 9 miliar. Jika proyek ini dibiarkan dan tidak segera dibongkar, maka akan menjadi preseden buruk bagi wilayah pesisir lainnya di Indonesia. Pesisir bukan milik pengembang, dan laut bukan ruang eksklusif bagi segelintir elite bisnis. Laut adalah sumber kehidupan yang harus dikelola secara bijak dengan menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama.
Apabila pemerintah serius melindungi rakyat, maka pagar ini harus segera dibongkar, bukan sekadar disegel untuk waktu yang tidak jelas. Selain itu, harus ada investigasi mendalam untuk mengungkap siapa sebenarnya dalang di balik proyek ini. Jika benar ada keterlibatan pengembang atau oknum pejabat dalam proyek ini, maka mereka harus bertanggung jawab. Nelayan Tangerang tidak boleh menjadi korban keserakahan dan konspirasi bisnis yang berkedok kepentingan lingkungan.
Muhammad Mahendra selaku Sekretaris Jenderal Himitekindo, mengungkapkan, kedaulatan nelayan harus menjadi prioritas dalam penyelesaian kasus ini. Selain itu, aktivitas yang mengancam keberlanjutan ekologi laut ini harus ditindak secara mendalam. Hal ini melihat banyaknya kejanggalan dan ketidaktahuan dalam kasus ini.
Himitekindo mendesak pemerintah untuk bertindak lebih dari sekadar menyegel. Kami menuntut transparansi, keadilan bagi nelayan, serta perlindungan ekosistem pesisir yang semakin terancam oleh praktik-praktik ilegal seperti ini. Jika tidak, maka pemerintah hanya membuktikan mereka lebih berpihak pada modal daripada rakyat yang seharusnya mereka lindungi!