Oleh : M. Ishom el Saha
(Dosen UIN SMH Banten)
Negeri kita termasuk negara yang mengandalkan pendapatannya (PDB) dari daya beli masyarakat. Rata-rata per tahun kontribusi daya beli masyarakat terhadap PDB ialah 55 persen. Akibatnya tatkala terjadi penurunan daya beli masyarakat Indonesia pada tahun 2024 yakni di bawah 45 persen maka terjadi pula penurunan PDB.
Pertanyaan mendasar sekarang, apa artinya sebagai masyarakat Muslim di Indonesia kita harus meningkatkan konsumsi supaya daya beli masyarakat tetap meningkat dan akhirnya PDB per tahun tetap stabil?
Dalam agama Islam Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya supaya bersikap “samahan” (toleransi) dalam berbisnis dan berkonsumsi. Beliau bersabda: “Allah menyayangi dan mengampuni dosa pedagang yang toleran, pembeli yang toleran, serta kreditur-debitur yang toleran”.
“Samahah” di sini diinterpretasikan oleh para ulama dengan “melakukannya secara adil”: tidak mempermudah dan tidak pula mempersulit. Samahah diilustrasikan dengan bersikap adil, semisal jika saat kita berdagang menuntut dagangan kita dibeli dengan harga murah maka demikian pula jika kita menjadi pembeli jangan terbiasa menawar dengan harga murah. Itulah samahah!
Dengan kata lain, sekalipun secara ekonomi konvensional daya beli masyarakat sangat mempengaruhi PDB maka bukan berarti umat Islam dituntut meningkatkan daya beli dan konsumsi. Justru apabila umat Islam dibiasakan untuk selalu belanja dan mengkonsumsi barang dan jasa yang tidak diperlukan maka hal itu dianggap sebagai pemborosan.
Pemborosan dalam Al-Qur’an dibedakan antara “israf” dengan “itraf”. Israf adalah bemborosan dengan mengkonsumsi secara berlebihan. Sedangkan itraf adalah membeli dan mengkonsumsi barang yang sebetulnya tidak dibutuhkan.
Gaya hidup itraf lebih bahaya dibandingkan dengan israf, sehingga disebutkan di dalam salah satu ayat al-Quran: “Dan Aku tidak mengutus Rasul kepada suatu kaum, melainkan orang-orang yang bergaya hidup itraf itu berkata: kami mengingkari misi yang disampaikan para Rasul”.
Dalam hadits Rasulullah Saw dijelaskan bahwa bahaya itraf ada tiga, yaitu membuat keras hati, anggota badan susah digerakkan untuk beribadah, dan susah menerima nasehat.
Oleh sebab itulah umat Islam penting bersikap bijak dalam berkonsumsi dengan cara “samahah” dan tidak boros, serta tidak asal mengejar gaya hidup.
Ajaran Islam bukan berarti menolak teori konsumsi aliran ekonomi materialisme. Bentuknya bukan dengan cara meningkatkan daya beli masyarakat. Toh, sia-sia saja masyarakat digenjot dan diiming-imingi untuk meningkatkan konsumsi, kalau nyatanya perputaran uang sangat kecil di level grassroots.
Islam sebaliknya mengajarkan supaya masyarakat klas menengah dan masyarakat kelas atas, sebagai pemegang kunci pertumbuhan ekonomi untuk lebih banyak membantu (sedekah) kepada masyarakat kelas bawah.
Dalam hadits Rasulullah Saw dijelaskan: “Wahai para konglomerat! Sesungguhnya syetan dan dosa selalu hadir dalam transaksi bisnis kalian. Untuk menyingkirkan keduanya maka lakukanlah bersedekah”. **