Pelulis : KRT. Faqih Wirahadiningrat. Editor : Hairuzamsn
“Matematika, adalah bahasa dimana Tuhan telah menulis Alam Semesta!” (Galileo Galilei)
Sejarah Revolusioner
Galileo Galilei adalah seorang Ilmuwan besar, dia menguasai astronomi, filsafat, hingga fisika. Kepintarannya mungkin banyak yang setara dengannya. Bahkan melebihi. Tetapi KEBERANIANNYA, layak dapat apresiasi. Karena itulah dia disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan.
Galileo lahir 15 Pebruari 1564. di Italia, negeri pusat peradaban Helenistik, dan pewaris Imperium Romawi. Juga tentu saja pusat awal Kristiani. Dimana tanpa bantuan Romawi sulit dibayangkan, agama Kristen meluas pengaruhnya sedemikian rupa.
Sementara Gereja Timur sudah runtuh di Konstantinopel, dan pengaruhnya meredup. Pengaruh Gereja Barat di Vatikan-Roma masih sangat kuat terasa. Di masa itu Roma masih menjadi pusat peradaban yang signifikan.
Kokohnya Vatikan dengan segala doktrinnya, tercatat dalam sejarah silam telah membawa Eropa pada Abad Kegelapan. Abad klenik, anti sains dan ilmu pengetahuan.
Dan Galileo harus terasing dan mati dalam tahanan rumah karena menolak Teori Geosentris. Dimana Bumi adalah pusat alam semesta. Ini menabrak dogma Gereja, dan doktrin lama sejak Aristoteles yang diyakini sebagai kebenaran semesta yang absolut.
“Dalam sains, otoritas ribuan pendapat tidak sebanding dengan satu percikan kecil akal sehat dalam diri seseorang,” demikian kata Galileo.
Dan ini sejalan dengan apa yang disabdakan Sayyidina Ali, “Puncak dari Agama adalah Akal !”
Karena tanpa akal sehat, maka doktrin agama sedang mengkhianati Tuhan yang disembahnya. Dengannya kita bisa memahami Alam Semesta sebagai bukti keagungan-Nya.
Pejuang Kebenaran harus siap menabrak pakem. Melawan ribuan dogma dan doktrin yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Kebenaran terkadang memang menyakitkan. Dibutuhkan keteguhan dan keberpihakan dalam membangun peradaban, dan menumbangkan ke-jahiliyah-an.
Pejuang Kebenaran harus berani menempuh jalan sunyi dan kesendirian. Keterasingan dalam kesedihan, kecaman dan penderitaan. Tapi sesungguhnya dia bahagia dan mulia di mata Tuhannya.
Semua pembaharu pasti mengalaminya. Tidak saja Galileo, juga Einstein, Budha, Isa, bahkan Muhammad pasti mengalami fase tersebut. Sejarah akan selalu berulang, setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya !!!
Revolusi Spritusl di Nusantara
Nusantara dibangun dari puzle peradaban dari masa ke masa. Dan tanpa pembaharu tidak ada peradaban baru.
“Kesadaran sosial, membangun Realitas Sosial, bukan sebaliknya,” demikian kata Karl Marx. Walaupun Penulis lebih sepakat kepada Berger dan Luckmann, bahwa ada hubungan timbal-balik antara realitas sosial dan kesadaran sosial, yang keduanya melahirkan Konstruksi Sosial.
(https://kanal.umsida.ac.id/index.php/kanal/article/view/101/148).
Dalam konteks perjuangan anti rasisme di Nusantara dan pelurusan Nasab Nabi SAW. Tanpa perlakuan rasis dari Klan Ba’alwi, tanpa cerita halusinasi yang sembrono, dan tanpa pembelokan sejarah Nusantara yang masif. Maka sulit reaksi perlawanannya secepat dan sedrastis sekarang. Andai mereka yang mengaku cucu Nabi, dan tetap memegang nilai serta akhlak Nabi. Tanpa merasa superior dan arogan. Semuanya akan baik-baik saja. Ummat Islam di Nusantara diajarkan cinta kepada keluarga Nabi dan keturunannya. Serta diajarkan akhlaqul karimah, pasti masih husnudzon atau berbaik sangka.
Peradaban lama Nusantara, dari masa ke masa. Yang dibangun oleh Spiritualisme Lokal, atau Kapitayan. Misalnya Kejawen, spiritualisme Jawa. Diawali Sang Purbawasesa menerima Wahyu di Gunung Ijen (artinya, sendirian, tunggal, ahad). Mendapatkan pengajaran tentang nilai-nilai Ketuhanan kepada Sang Hyang Tunggal. Itulah kenapa orang Jawa menyebut sholat sebagai Sembahyang, Sembah Hyang. Serta diajarkan pula nilai-nilai Kemanusiaan, baik interaksi antar manusia maupun dengan alam semesta. Orang Jawa sangat dilarang menyakiti manusia lainnya, walaupun itu menyinggung perasaannya. Dan sangat dimurkai bila menebang pohon tanpa alasan yang jelas. Hukumannya, harus menanam pohon baru yang lebih banyak jumlahnya. Dari sini tanpa sadar, bahwa sedekah Oksigen dan Ozon telah dilakukan nenek-moyang Nusantara kita. Budaya Tetandur, menanam pohon. Sehingga bisa dilihat, dimana ada orang Jawa, disana ada pertanian dan pemuliaan tanaman.
Dan spiritualisme semacam ini ada di semua suku Nusantara, yang nantinya akan membangun kultur dan karakternya masing-masing.
Hingga kemudian, datanglah apa yang dimaksud dengan agama impor, spiritualisme manca yang masuk dan bersimbiosis dengan spirit lokal. Hasilnya adalah Kebijaksanaan Lokal (local wisdom, local knowledge and local genius). Semuanya berlangsung dengan damai dan sinergi. Contohnya sinkretisme Siwa Buddha di Nusantara.
Ketika di negeri asal India, konflik justru mengakibatkan runtuhnya Agama Budha. Termasuk hancurnya Dinasti Asoka. sehingga Budha berdiaspora ke Tibet, Nepal, China, Jepang, bahkan Asia Tenggara.
Study kasus, ketika Suku Tengger-Pegunungan Bromo di awal keterbukaan ditanya agamanya? Mereka menjawab ‘Agomo Budo’. Padahal ritualnya banyak yang ala Hindu.
Sinkretisme lama di Nusantara menjadi agama Budi. Bagaimana manusia sejati harus memiliki Budi Pekerti yang luhur.
Ini sejalan dengan :
“Jika ingin mengetahui kedalaman agama seseorang, jangan lihat dari banyaknya dia sholat dan puasa. Tapi lihatlah cara dia memperlakukan orang lain !” (Imam Ja’far Shodiq Al Husaini).
Di Nusantara, Sang Budha diterima sebagai titisan ke-9 Dewa Wisnu, dimana Rama sebagai titisan ke-7 dan Krisna ke-8. Konsepsi Awatara Wisnu yang penuh perdebatan di India sana, tuntas dan damai di Nusantara.
Dinasti dan Kerajaan Nusantara, banyak melahirkan karya adiluhung. Disitulah sebenarnya nilai-nilai spiritual mengejahwantahkan dirinya dalam jalan yang benar. Bagaimana Navigasi Nusantara yang jejaknya telah berumur 60 ribu tahun. Juga Batik, Ilmu Metalurgi, bahkan bangunan megah Piramida tertua Gunung Padang, telah ada jauh sebelum Hindu dan Budha masuk ke Nusantara. Dan di era selanjutnya, bagaimana candi Budha termegah Borobudur, serta candi Hindu terbesar Prambanan menjadi buktinya. Dengan segala nilai estetikanya membuktikan bahwa Nusantara mampu membuat peradaban yang lebih hebat dari negeri asalnya.
Lalu bagaimana dengan Islam? Walaupun sulit dikatakan mampu membuat peradaban melebihi Abbasiyah, Umayyah-Andalusia maupun Utsmaniyyah. Namun setidaknya dengan Imerium Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Pasai, Aceh, Melayu, hingga Ternate, Tidore, Gowa, dan lain sebagainya. Membuktikan bahwa Nusantara mampu membangun peradaban melebihi negeri Yaman. Yang mana sebagian imigrannya di Nusantara sedang berhalusinasi bahwa negeri asalnya lebih hebat dari Nusantara. Manusia dinilai dari karyanya, suatu bangsa dinilai dari peninggalan peradabannya.
Virus Yamanisasi ini semakin runyam dengan doktrin membawa-bawa keturunan Nabi. Kekurangan yang ditambal dengan kemuliaan leluhur yang semu.
Diperparah lagi, para pembelanya sedang menganyam kesesatan. Walaupun telah runtuh dari sisi Kajian Pustaka dan Genetika. Mereka membual dengan dalih pabila Klan BA’ALWI itu bukan dzurriyah Nabi, kenapa dulu ulama-ulama sepuh menghormati mereka dan tidak mempermasalahkannya?
Untuk menjawab logika sesat ini ijinkan penulis memberikan alasan logis agar terang benderang :
Di jaman itu jangankan mau crosscheck nasab ke negeri asal, atau Naqobah Internasional. Untuk berangkat Haji saja dipersulit. Harus dapat ijin dari pemerintah kolonial. Bahkan gelar Haji adalah gelar dari kolonial untuk pemetaan bagi mereka yang dianggap telah mendapat pengaruh Pan Islamisme ketika di Tanah Suci. Beberapa data menyebutkan, ada istilah Haji Singapura. Tidak sampai ke tanah suci tapi berhenti disana. Disuruh kerja di perkebunan milik Tuan Tanah Imigran Yaman. Dan maklumlah agensi-agensi haji ini memang dikuasai imigran Yaman yang tentu saja antek Kolonial.
Adanya Kaidah meragukan dan menuduh PALSU nasab orang lain, adalah lebih berat dosanya. Yaitu derajad terkutuk 3x dibanding mereka yang memalsukan nasab. Sehingga mengambil ‘jalan aman’ lebih diutamakan, daripada bersikap kritis tetapi beresiko di hadapan Tuhan.
Adanya bantuan doktrin sesat dari Kaum Kolonial, bahwa antek-antek imigrannya ini benar keturunan Nabi SAW. Untuk mengkooptasi dan menakut-nakuti Ummat Islam agar tunduk dan mudah dikendalikan.
Alasan terakhir, dibutuhkan kedewasaan berpikir. Bahwa para pendahulu kita, sangat mungkin juga tertipu oleh doktrin sesat tersebut. Mengingat mereka juga bukan Nabi yang maksum, tidak terbebas dari salah dan khilaf. Mereka seberapapun hebatnya, tentu saja adalah manusia biasa, memiliki kelemahan dan kekurangan. Dan pastinya mereka bukan TUHAN, yang Maha Tahu segalanya. Sebagai orang beriman, bukankah kita dilarang men-Tuhan-kan sesuatu selain ALLAH.
Kini dengan terbukanya arus informasi antar negara, dan Kajian Pustaka atau Ilmu Genetika yang canggih. Lebih mudah mengkonfirmasi semua hal, termasuk urusan nasab.
Sebagaimana Imam Nawawi Al Bantani yang bermukim di Mekkah. Maupun Kyai Abdul Karim di Jawa Timur. Mereka rela dikecam karena menolak tawaran Mufti Batavia antek Belanda, Usman bin Yahya. Secara logika, bagaimana mungkin seorang ulama besar berani menolak ajakan seseorang yang disematkan sebagai Cucu Nabi. Syekh Nawawi menolak walau dengan iming-iming gaji sangat besar, bahkan melebihi Si Mufti Antek Belanda tersebut. Ini ada dalam Kesaksian Van Den Berg, bahwa seorang Syekh Nawawi Al Bantani mustahil mau bekerja sama menjadi antek Kolonial. Van Den Berg adalah atasan Snouck Hurgronje, keduanya Yahudi Belanda, konseptor kooptasi Ummat Islam di Nusantara. Nasib yang lebih tragis menimpa Kyai Abdul Karim trah Sunan Drajad. Karena posisinya di dalam negeri, beliau diculik, dipenjara dan disiksa. Sebabnya menolak menjadi Mufti Belanda di Surabaya. Tentunya kedua pendahulu yang mulia tersebut tahu, bahwa Cucu Nabi Gadungan itu sedang berakal bulus. Mengajak untuk mengkhianati bangsanya sendiri.
Teruntuk Syekh Nawawi, penulis yakin beliau tahu siapa sesungguhnya Klan Ba’alwi. Karena beliau mukim di Makkah. Maka tahu bagaimana Syarif Mekkah Syarif Aun Arrofiq Al Hasani mentakzir, menghukum cambuk oknum Ba’alawi 300x di jaman itu dan dilarang memakai gelar resmi keturunan Nabi, yaitu Sayyid dan Syarif.
(Baca Kitab Al Istizadah hal. 1093 karangan cucu Mufti Tarim, Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf dan Kitab Mir’atul Haromain).
Bagi penulis, tetap meyakini bahwa KEBENARAN akan menemukan jalannya. Dan hati nurani rakyat adalah bentuk suara Tuhan. Vox Populi Vox Dei.
Kendati para Umaro’, para penguasa pemangku negeri ini diam seribu bahasa, karena tersandera jabatan dan kepentingan politiknya.
Walaupun tokoh Ulama, para pemimpin agama, terutama dari ormas-ormas besar, seolah abai dan acuh karena mental terjajahnya. Mereka memilih mencari posisi aman daripada berpolemik dan takut kehilangan wibawanya. Ketahuilah, anda sekalian sedang menuju pertanggungjawaban yang pelik dihadapan Tuhan nantinya. Ummat sedang disesatkan malah mendiamkannya, bahkan ada yang malah mendukung kaum penyesat tersebut. Anda sesunguhnya sedang meniti jalan kehinaan di hadapan Allah dan Nabinya. Sadarlah, dan bertindaklah karena sejarah sedang menilai anda semuanya. Sulitkah untuk menggelar Kajian Ilmiah, dan sedemikian takutkah untuk berani jujur demi Kebenaran?
“Pemberani hanya mati sekali, tetapi penakut akan mati berkali-kali !”
(Abraham Lincoln, Bapak Kesetaraan dan Anti Perbudakan)
Antara Genetika Ba’alawi, Keturunan Nabi Asli dan Genetika Nusantara
Apalagi dengan kemajuan IPTEK, maka pemetaan dan Genetika Manusia demikian mudah dianalisis.
Bila Nabi Nuh adalah berkode Haplogroup Y-DNA GHIJK (haplogroup induk sebelum pecah)
NUH punya 3 anak : HAM, SAM dan JAPETH.
Lalu Kerurunan mereka menyebar ke seluruh dunia. Melalui kromosom Y-DNA yang diturunkan dari garis laki-laki, maka dapat ditelusuri dan dihitung mutasi gen-nya serta linimasanya.
Haplgroup GHIJK, pecah menjadi G (keturunan Yaphet), H (keturunan Ham), dan IJK (keturunan Sam yang melahirkan Ibrahim, Kaum Yahudi Asli dan Suku Qurays, termasuk Haplogroup O kaum pria Nusantara).
Maka, BA’ALWI yang haplogroup G, adalah keturunan Yaphet yang dari jalur Askhenazi. Sementara Ibrahim dan keturunannya baik dari Ishaq maupun Ismail (melahirkan Suku Qurays; Muhammad, Ali, Hasan dan Husein) adalah Haplogroup J pecahan dari IJK. Lalu pria Nusantara, adalah Haplogroup O merupakan keturunan dari K sebagai pecahan IJK.
Dari ilmu genetika, antara 3 bangsa ini : BA’ALWI, ABRAHAMIK, maupun PRIA NUSANTARA, ketemu di sekitar 1108 generasi ke atas pada kakek yang sama. Atau disinyalir Nabi NUH itu sendiri.
Metodologinya jelas, dan memang tugas Ilmu Pengetahuan adalah memastikan semua fenomena bisa pasti dan terukur. Dan pengukuran itu sendiri dengan memakai metode Matematika. Sebagaimana Galileo berkata : “Matematika adalah bahasa di mana Tuhan telah menulis alam semesta.”
Sebuah pesan yang ghaib sekalipun, harus bisa terkonfirmasi kebenarannya dengan pengukuran yang jelas. Bila tidak, maka hal tersebut hanyalah informasi untuk pribadi yang tidak layak menjadi kepastian kebenaran. Tuhan menyampaikan hal-hal ghaib melalui firmannya yang masih belum bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan di era sekarang. Seperti peristiwa Isra’ Mi’raj, atau Ashabul Kahfi tidur selama 309 tahun tanpa hancur jasadnya, maupun misteri ajaran Khidir kepada Musa, dan lain sebagainya. Akan tetapi jangan lupa IPTEK telah bisa membuktikan kebenaran Qurawal alam semesta dengan Big Bang Theory, asal logam yang bukan dari bumi tapi tumbukan meteorit, maupun terbentuknya janin, atom, dan peredaran bumi, bulan, bintang dan galaksi.
Artinya, untuk sesuatu yang telah bisa dikonfirmasi dengan IPTEK, maka penganut agama yang baik, harus mau menerima kebenaran IPTEK sebagai alat bantu memecahkan masalah di era sekarang. Termasuk membuktikan keaslian Nasab Nabi sebagai salah satu pilar perintah agama di dalam mencintai Nabi dan keluarganya. Tentu saja, semuanya untuk silaturahmi dan ketauladanan. Untuk menghindarkan praktik rasisme dan kapitalisasi nasab kepada ummat. Agar bisa diluruskan selamanya dengan kaidah yang benar. Agar Nusantara selalu terjaga dan baik-baik saja. Dan agar tidak ada kejadian serupa di masa depan. Karena sejatinya : RASISME HIDUNG PESEK JAUH LEBIH BERBAHAYA DARI RASISME HIDUNG MANCUNG. Penindasan oleh bangsa sendiri jauh lebih hina dan massif kerusakannya, daripada oleh bangsa asing yang lebih mudah pendeteksian dan perlawanannya.