Oleh : HAIRUZAMAN. (Penulis Buku dan Praktisi Pers)
Beberapa waktu silam, Yl berbisnis handphone. Sebanyak 4 handphone dengan berbagai merk, Yl serahkan kepada Nd. Tentu saja dengan harga angsuran kredit yang telah disepakati bersama setiap bulannya.
Awalnya, uang angsuran kredit Nd kepada Yl berjalan lancar. Namun, entah kenapa aekitar 6 bulan kemudian uang angsuran kredit handphone yang telah dsepakati selama 10 bulan menjadi macet. Celakanya, saat Yl menagih uang angsuran kredit Handphone, Nd berkelit. Pesan WbatsApp tak pernah dibalas dan ditelphone pun tak pernah dijawab.
Tak ayal, Yl pun akhirnya menjadi geram. Pasalnya, ia harus menanggung kerugian dari bisnis handphone-nya. Yl pun lalu melampiaskan kekesalannya itu melalui akun Facebook. Dengan serta merta, Yl melampiaskan semua isi hatinya dengan harapan Nd bisa melunasi utangnya. Namun, lantaran pengetahuannya yang terbatas tentang Undang-Undang ITE, bukannya Nd melunasi utangnya. Tapi, Nd justru mengadukan kasus pencemaran nama baik ke salah satu Kantor Advokat yang ada di Kota Serang, Banten. Yl diduga telah mencemarkan nama baik Nd di jejaring sosial.
Karuan saja, Yl pun merasa panik. Pasalnya, ia sama sekali tak mengira hal itu bisa menyeretnya ke ranah hukum. Yl mendapatkan somasi agar memberikan ganti rugi imateril dan materil sekaligus. Jika hal itu dipenuhi, maka kasusnya tak akan bergulir ke ranah hukum.
Yl mencoba untuk menempuh jalan damai dengan melakukan musyawarah untuk mufakat. Dengan harapan, ganti rugi imateril dan materil tidak memberatkannya. Namun, kendati Yl telah berusaha sekuat tenaga agar keinginannya bisa terealisasi, akan tetapi Nd tetap tak bergeming. Nd tetap minta ganti rugi sesuai dengan keinginannya dan mengancam akan menyeret Yl ke ranah hukum.
Problem Solving atas kasus UU ITE yang ditempuh oleh Yl ternyata menemui jalan buntu (Kuldesak). Sebab, Nd sama sekali tak memberikan ruang bagi Yl untuk sedikit bisa bernapas lega. Kerugian materil yang dinilai Yl cukup memberatkan. Apalagi Yl saat ini baru melahirkan si jabang bayinya yang membutuhkan biaya tak sedikit.
Yl pun tak kuasa lagi untuk menahan air matanya. Sedangkan suaminya hanya bekerja sebagai pedagang pecel lele di sudut Kota Serang, Banten. Sehingga Yl tak bisa berharap banyak, apalagi membebani suaminya. Saat ini, Yl hanya bisa pasrah dan menyerahkan kasus tersebut kepada pemilik alam semesta, Allah SWT. Sebab, Yl hanya diberikan toleransi waktu selama 2 hari untuk menyiapkan uang kerugian matetil tersebut.
Kondisi yang tengah dialami Yl saat ini ibarat bunyi sebuah adagium “sudah jatuh, tertimpa tangga”. Kini, Yl pun hanya bisa menengadah kepada Allah SWT. Semoga, Yl bisa keluar dari kasus yang tengah menjeratnya. **