Editor : Hairuzaman.
JAKARTA – Kabarexpose.com —
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menerima laporan pembahasan RUU perubahan UU ITE oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari dalam Rapat Paripurna ke-10 Masa Persidangan II tahun 2023-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, baru-baru ini. DPR RI mengesahkan RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Revisi kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disetujui bersama DPR RI dan Pemerintah untuk disahkan menjadi UU pada 6 Desember 2023 lalu masih berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan, revisi kedua atas UU tersebut juga tidak memberikan perubahan signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman kemerdekaan pers. “Pasal-pasal yang dimaksud antara lain adalah Pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan atau fitnah dan/atau pencemaran nama baik,” kata Ninik dalam keterangan pers resminya.
Dewan Pers mengajak masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk bergerak mengkritisi revisi kedua atas UU ITE tersebut. Dewan Pers, kata Ninik, menyerukan khususnya kepada komunitas pers dan masyarakat yang berpotensi terdampak untuk mengambil sikap. “Untuk mengambil langkah konkret bersama-sama mencegah terjadinya kriminalisasi pers yang disebabkan oleh UU ITE atau UU lainnya yang masih mengancam kemerdekaan pers,” kata Ninik.
Selain itu, Ninik mengatakan, ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran pemberitahuan bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. “Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp 1 miliar,” kata dia.
Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan dalam revisi itu, menurut Ninik, mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP yang memuat ancaman sanksi pidana bagi barang siapa menyatakan perasaan, penghinaan, kebencian, dan permusuhan kepada pemerintah atau atau negara.
“Pasal karet produk kolonial tersebut bahkan dikuatkan dengan KUHP baru sebagai produk hukum nasional, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” kata dia.
Revisi kedua atas UU ITE seperti dalam Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1) berpotensi mengebiri pers. Karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik dengan internet terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa.
Hal ini bisa jadi digunakan oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian. “Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam revisi kedua atas UU ITE ini,” ujar Ninik.
Pasal-pasal itu secara tidak langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers dan menciderai upaya mewujudkan negara demokratis. “Dewan Pers menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kilah Ninik.
Sementara itu, menurut Ninik, implementasi UU ITE itu sudah diatur Pedoman Implementasi Undang-Undang ITE Nomor 229 Tahun 2021 berdasarkan Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri. Pedoman itu menegaskan bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai lex spesialis, bukan UU ITE. “Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers,” bebernya.
Kendati demikian, menurut Ninik, Pedoman Nomor 229 Tahun 2021 itu akan menemui tantangan berat karena norma hukum yang memayunginya justru membuka celah penafsiran yang membelenggu kemerdekaan pers. Dewan Pers menilai proses legislasi revisi kedua UU ITE tidak transparan dan terbuka untuk melibatkan partisipasi publik secara luas, terutama untuk mendengarkan berbagai masukan dari stakeholder yang berpotensi terdampak.
“Hal ini menunjukkan ketidakseriusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk menjalankan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022. Bahkan naskah revisi kedua atas UU ITE yang baru disahkan oleh DPR dan pemerintah juga sulit diperoleh,” terang Ninik.