Oleh : M. Ishom El saha
(Wadek I Fakultas Syariah UIN SMH Banten)
Semangka baru dikenal dalam peradaban manusia sekitar abad ke-5 Masehi. Bangsa Afrika dikenal sebagai pihak pertama yang menemukannya. Kendati mereka jarang yang memakannya karena waktu itu dianggap bisa membahayakan manusia.
Kemunculan semangka sebagai jenis tanaman dan buah-buahan baru pada mulanya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Termasuk ketika semangka dihadiahkan kepada Rasulullah Saw oleh sahabat-sahabat beliau yang berasal dari Afrika.
Masalah utamanya adalah semangka termasuk jenis sayuran atau buah-buahan? Hal ini ditanyakan sahabat dan beliau meresponsnya dengan cara memukul-mukulkan semangka sampai pecah.
Mereka yang melihat kejadian itu menginterpretasikan bahwa Rasulullah menunjukkan semangka adalah jenis sayuran, bukan buah-buahan. Sebab jika buah-buahan maka Rasulullah akan memotong-motongnya.
Dalam Riwayat Aisyah ra. Rasulullah Saw pernah terlihat memakan kurma kering bersamaan dengan memakan semangka. Kata Aisyah: “kurma kering ada di tangan kanannya dan semangka ada di tangan kirinya.” Rasulullah memakan kurma dengan membelah dan membuang bijinya dan begitu pula cara beliau memakan semangka, secara bergantian.
Sekalipun ada riwayat-riwayat seperti itu, akan tetapi tidak sedikit ulama yang meragukannya. Baik dari sisi perawinya maupun konten haditsnya.
Dalam konteks hadits, mereka meragukan cara memakan semangka yang dilakukan Rasulullah memakai tangan kiri (?) Padahal beliau mengajarkan kepada ummatnya agar memakan menggunakan tangan kanan.
Oleh sebab itulah ada sebagian ulama yaitu ulama ulama sufi yang menganjurkan supaya menghindari memakan semangka. Hal ini seperti diungkapkan Abdullah b. Alawi al-Hadrami dalam “Risalat al-Muawanah” halaman 33.
Beliau berkata bahwa sebagian ulama menganjurkan lebih baik tinggalkan untuk memakan semangka sebab walaupun Rasulullah memakannya tetapi kita tidak tahu betul bagaimana cara beliau memakannya.
Ini adalah cara pendekatan ulama sufi yang menarik dipahami. Mereka memilih menghindari karena belum meyakini dan masih meragukan cara Nabi memperlakukan dan memakan semangka.
Beda lagi dengan ulama syariat ketika memahami hukum makan kadal gurun. Nabi pernah disuguhkan panggangan kadal gurun dan beliau menolak memakannya, walaupun beliau tidak melarang sahabat memakannya. Dengan dalih ini ulama syariat menghalalkan kadal gurun.
Jadi, perspektif ulama sufi dan ulama syariat terkadang ada perbedaannya. **