Oleh : Hartanto Boechori
(Ketua Umum dan Pembina Depkumham Persatuan Jurnalis Indonesia(
Beberapa hari lalu Advokat Lukas Santoso, SH.,MH, MM.,MSi. yang juga anggota saya di Depkumham PJI (Departemen Hukum dan HAM-Persatuan Jurnalis Indonesia) menemui saya bersama kliennya, Hengky Irawan. Diterangkan mereka, tahun 2020 lalu Hengky membeli sebidang tanah dan rumah di Arjowinangun Malang, bersertifikat Hak Milik atas nama Rimun Radityo. Kemudian hari menjadi kasus hukum No. 264/Pdt.G/2022/PN Mlg.
Dari penjelasan dan tercantum di sertifikat, awalnya asset rumah tanah itu atas nama/milik Ni Putu Kertiari. Tahun 2000 terjadi jual beli dan sertifikat berubah menjadi atas nama Mujahit Kholidi. Selanjutnya diperjual belikan lagi dan menjadi atas nama Rimun Radityo. Tahun 2020 Hengky membeli dari Rimun. Selanjutnya sertifikat telah berubah atas nama Hengky Irawan. Saat proses jual beli, obyek sedang disewa orang lain. Rimun meminta waktu pengosongan 1-2 minggu dan disetujui Hengky.
Batas waktu lewat, Hengky mendatangi Lokasi, meminta mengosongkan. Namun ternyata yang menempati obyek itu, ahli waris Ni Putu Kertiari. Mereka melawan dan ngotot menyatakan tidak pernah menjual obyek yang mereka tempati itu. Prosedur persuasif yang dilakukan Hengky tidak ditanggapi. Upaya pengosonganpun dilawan dengan cara-cara “jalanan”, mendatangkan oknum-oknum TNI dan berbagai perlawanan lain.
Ternyata tahun 2003 Ni Putu Kertiari pernah mempidanakan Mujahit Kholidi atas dugaan pidana memalsukan tanda tangannya dalam proses jual beli dan sempat jadi Tersangka. Namun akhirnya Penyidik menerbitkan SP3 (menghentikan penyidikan), karena hasil penyidikan, tidak ditemukan pemalsuan tanda tangan Ni Putu Kertiari. Tanda tangan penjual (Ni Putu Kertiari) dalam Akta jual beli, benar benar tanda tangan aslinya. Artinya, memang asset Ni Putu Kertiari di Arjowinangun Malang itu benar benar telah dialihkan secara sah kepada Mujahit Kholidi.
Gagal melakukan Upaya persuasif dan pengosongan, Hengky melalui Advokat Lukas Santoso mengajukan gugatan pengosongan asset termaksud di Pengadilan Negeri (PN) Malang. Putusan PN, gugatan Hengky (penggugat konvensi) tidak dapat diterima karena kurang memenuhi syarat formil, sedangkan gugatan balik (gugatan rekonvensi) Ahli waris Ni Putu Kertiari atas permintaan pengembalian Sertifikat, ditolak dengan alasan relatif sama. Hengky/Lukas upaya hukum banding. Dan putusan Banding memenangkan Hengky/Lukas. Ahli waris Ni Putu Kertiari kasasi.
Ketika perkara sampai di tingkat Mahkamah Agung/kasasi, putusan menjadi aneh. MA memutus, Hengky sebagai pembeli tidak beritikad baik, ‘jual beli dari Ni Putu Kertiari kepada Mujahit Kholidi, tidak sah dan tidak berkekuatan hukum tetap. Bahkan lebih parah lagi, memerintahkan Hengky mengembalikan sertifikat tanah kepada ahli waris Ni Putu Kertiari’. Penilaian saya, putusan “aneh, kacau dan lucu”!
Padahal fakta persidangan, BPN (Badan Pertanahan Nasional) mengakui seluruh proses jual beli tanah sejak dari kepemilikan Ni Putu Kertiari sampai Hengky Irawan, sah dan telah didukung bukti-bukti otentik serta terverifikasi resmi. Demikian pula keterangan para Notaris yang terlibat. Keterangan BPN yang seharusnya dihormatipun, “ditabrak” dan tidak dihiraukan oleh Oknum Majelis MA.
Sepengetahuan saya yang awampun, MA tidak memiliki kewenangan memeriksa kembali fakta atau bukti-bukti baru. Masyarakat wajib paham, peradilan di Indonesia, berdasarkan prinsip perundang-undangan, hirarki kewenangan PN, PT dan MA, diatur jelas. PN memeriksa perkara dalam aspek faktual. PT bertugas memeriksa kembali fakta-fakta dan bukti dari putusan PN. Dan MA hanya berwenang memeriksa penerapan hukum dalam perkara yang sudah disidangkan di tingkat sebelumnya.
Tetapi dalam kasus ini, MA bukan hanya fokus memeriksa penerapan hukum yang sudah diperiksa di PT dan PN sesuai tupoksinya, malah melakukan pemeriksaan ulang fakta-fakta dan membuat putusan yang tidak semestinya. Kalau ada yang menilai saya yang kurang pemahaman, silahkan para ahli hukum mengkoreksi. _ Selengkapnya saya jelaskan di kolom terkait untuk “mengajari” oknum Majelis yang “bingung” / “kurang paham aturan”_.
Putusan MA yang mengharuskan Hengky mengembalikan sertifikat kepada ahli waris Ni Putu Kertiari, berpotensi merusak prinsip kepastian hukum. Jika semua prosedur administratif sudah dijalankan dengan benar (sertifikat sudah beralih berkali-kali dan dinyatakan sah oleh BPN maupun notaris yang terkait), tetapi kemudian dibatalkan di tingkat kasasi tanpa dasar penerapan hukum yang jelas, dapat menciptakan preseden buruk, menambah kompleksitas permasalahan dan membuat orang kehilangan keyakinan pada kepastian hukum dalam transaksi obyek tanah.
Saya duga kuat ini tindakan dzolim oknum Hakim Agung MA /penyalah gunaan kewenangan dan bahkan “kejahatan”! Saya sarankan Hengky Irawan/Advocat Lukas Santoso agar menempuh langkah hukum lebih lanjut, PK (Peninjauan Kembali) atas kekhilafan Majelis. Semua pihak terkait dan berwenang agar memberi ruang seluas luasnya untuk dapat dilaksanakan PK. Dan demi penegakan hukum yang berkeadilan, KY (Komisi Yudisial), Ketua MA dan Badan Pengawas MA saya harap memeriksa serius oknum Majelis yang bersangkutan dan mengawasi jalannya PK.
Saya yang awam saja paham aturan ini, masa Hakim Agung “bingung”?! Mungkinkah karena salah satu ahli waris Alm. Ni Putu Kertiari yang bernama ‘Liena’, berprofesi Hakim dan saat ini Ketua Pengadilan Negeri Rembang Jawa Tengah?! Dan informasi yang saya dapat dari kawan kawan, Liena memang punya hubungan kedekatan dengan Ketua dan Wakil Ketua MA. Walahuallam. Silahkan pihak pihak yang berkepentingan, mengklarifikasi kebenarannya.