Editor : Hairuzaman .
JAKARTA – Kabar Expose.com |
Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak saat pemilu dinilai mempunyai efek domino yang meluas dan mengancam terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Pernyataan ini juga memberikan pekerjaan lebih berat bagi Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu untuk mengawasi jalannya pemilu.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, mengatakan, Presiden Joko Widodo mempunyai peran penting untuk menciptakan iklim kontestasi pemilu yang setara dan berdasarkan hukum.
”Sayang sekali, penyataannya punya potensi dimaknai salah bahwa pejabat negara, seperti presiden, menteri, dan kepala daerah, boleh berkampanye. Hukum tidak mengatakan seperti itu, boleh berkampanye, dan ajak pilih, tetapi cuti,” katanya saat jumpa pers Perkumpulan Jaga Pemilu untuk merespons pernyataan Presiden, yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Hadir pula sebagai pembicara, Ketua Perkumpulan Jaga Pemilu, Natalia Soebagjo; Ketua Badan Pengawas Jaga Pemilu, Erry Riyana Hardjapamekas; serta salah satu inisiator Jaga Pemilu dan pendiri Perludem, Titi Anggraini.
Ketua Badan Pengawas Perkumpulan Jaga Pemilu, Erry Riyana Hardjapamekas, menyampaikan pendapatnya dalam jumpa pers Perkumpulan Jaga Pemilu, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Usep menuturkan, pernyataan Presiden mempunyai efek domino di pemerintahan daerah, seperti di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Hal yang dikhawatirkan adalah pejabat daerah kemudian mengajak publik memilih pasangan calon tertentu ketika sedang bertugas. ”Masyarakat melihat pejabat mereka ajak pilih jagoan masing-masing tidak masalah. Ini ada efek domino, yaitu pelanggaran di daerah,” ujarnya.
Menurut Usep, indikasi dugaan keterlibatan Jokowi dalam pemilu sudah ada sejak lama. Indikasi itu terlihat dari pernyataan presiden pada pertengahan tahun lalu yang mengungkapkan akan ”cawe-cawe” dalam pemilu. Selain itu, ada proses dan putusan dari Mahkamah Konstitusi yang tidak wajar, yang memberikan karpet merah untuk putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto. Kini, indikasi itu semakin kuat dengan adanya pernyataan Jokowi yang mengatakan presiden boleh kampanye.
Dengan adanya pernyataan presiden tersebut, tugas Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan pemilu mulai tingkat pusat hingga daerah pun bakal lebih berat. ”Bawaslu harus mampu menindak pejabat negara yang menggunakan fasilitas negara, anggaran, dan mengerahkan aparatur sipil negara untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu,” katanya.
Dengan keterbatasan Bawaslu untuk mengawasi pemilu, Usep mengusulkan agar Bawaslu memperkuat laporan partisipatif dari masyarakat dan bekerja sama dengan sentra penegakan hukum terpadu untuk menindak pejabat yang melanggar aturan.
Saat dijumpai di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024) pagi, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa dirinya sebagai presiden boleh saja berkampanye. ”Ya, boleh saja saya berkampanye, tetapi harus cuti, tidak memakai fasilitas negara,” ujarnya.
Menurut Titi Anggraini, pernyataan Presiden Jokowi hanya merujuk pada ketentuan Pasal 281 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi, ”Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.”
Padahal, pada UU No 7/2017, khususnya di dalam Pasal 282, terdapat larangan kepada ”pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.”
”Presiden Jokowi dan seluruh menterinya adalah pejabat negara yang memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dalam pemilu. Mereka dilarang melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, termasuk di masa kampanye. Jika mereka melakukan tindakan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu,” kata Titi.
Natalia Soebagjo menilai, pernyataan Presiden mengisyaratkan agar masyarakat maklum dengan keberpihakan Jokowi terhadap pemenangan Pemilu 2024 karena putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, adalah cawapres nomor urut 2 mendampingi Prabowo.
Ia mengungkapan kekecewaannya karena pernyataan Jokowi disampaikan di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma dengan latar belakang pesawat udara Tentara Nasional Indonesia dan didampingi Prabowo Subianto yang hadir sebagai Menteri Pertahanan, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Kepala Staf TNI AD Jenderal Maruli Simanjuntak.
”Semua dalam latar itu dibayar oleh pajak rakyat. Pesawat udara, bordir bintang lima di topi, seragam jaket mereka, bahkan gaji yang mereka terima dalam posisinya sebagai pejabat sampai ke pengoperasian Bandara Halim pun dibayar pajak rakyat. Tidak sepantasnya pernyataan itu diucapkan, apalagi diucapkan di fasilitas negara seperti itu,” tutur Natalia.
Menurut Erry Riyana Hardjapamekas, Presiden sebagai kepala negara harus berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. ”Presiden sebagai penanggung jawab keuangan dan sumber daya nasional harus menggunakan kekuasaannya untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa. Lebih spesifik lagi, pada saat pemilihan umum, ia harus berada di atas semua golongan dan memberi contoh bagi aparatur sipil negara dan aparatur negara bersenjata agar selalu netral karena mereka harus melayani semua warga tanpa diskriminasi dan tidak pilih bulu,” tuturnya.