Penulis : M. Ishom El Saha. Editor : Hairuzaman.
Kasus bunuh diri sekeluarga akibat terlilit piutang merupakan hal memilukan. Begitu pula berita ibu-ibu yang terlilit pinjaman online adalah bentuk tamparan bagi kita yang selama ini lebih fokus pada pembangunan ekonomi nasional.
Keluarga merupakan unsur terkecil masyarakat. Pilu mereka menghadapi problem keuangan keluarga sejatinya juga menjadi perhatian kita semua. Tentunya keuangan keluarga yang tak sehat akan berimbas pada ekonomi keuangan secara makro.
Padahal negeri kita sedang mengupayakan pembangunan ketahanan keluarga. Yaitu keluarga yang bahagia dan dapat mencukupi kebutuhan pokoknya serta berperan aktif dalam masyarakat. Ketahanan keluarga diharapkan mampu menciptakan kemaslahatan keluarga (maslahah usrah) dan maslahat umum (maslahat ammah) atau yang disebut dengan keluarga maslahah.
Karena itu, dipandang perlu melakukan edukasi kepada masyarakat tentang literasi keuangan keluarga maslahah. Tujuannya ialah supaya tidak terjadi peristiwa tragis dan begitu memilukan yang terjadi dalam sebuah keluarga.
Konsep dasar keuangan keluarga dibangun dari pemahaman tentang pendapatan dan pengeluaran keluarga, seperti kita belajar ilmu ekonomi dasar.
Keluarga maslahah memandang keuangan seperti neraca timbangan amal antara pendapatan dan pengeluaran. Yakni berupaya menghimpun pemasukan dan menekan pengeluaran, agar hidupnya bahagia; dan bukan sebaliknya.
Keluarga maslahah semestinya berupaya untuk mendapatkan penambahan aktiva umumnya melalui perolehan keuntungan, hibah, dan faktor lainnya. Termasuk aktiva adalah berzakat, bersedekah dan berinfak. Karena kendati kelihatannya berbentuk pengeluaran, akan tetapi dapat mendatangkan keberkahan.
Sebaliknya keluarga maslahah juga agar berusaha keras untuk menekan pasiva berupa semua kewajiban dan ekuitas yang masuk dalam daftar terutang, baik yang berjangka pendek maupun tidak.
Keluarga maslahah dibolehkan memperoleh modal melalui pinjaman, dengan catatan berupa pinjaman produktif dan bukan pinjaman konsumtif. Suatu pinjaman produktif tidak lagi dianggap pasiva apabila dijadikan modal untuk meningkatkan produktivitas dan usaha.
Namun, jika pinjaman atau piutang itu hanya untuk kebutuhan konsumtif, maka dikategorikan sebagai daftar pasiva yang dapat mempengaruhi ekonomi dan keuangan keluarga maslahah.
Kebutuhan konsumtif perlu ditekan oleh anggota keluarga maslahah. Ketertarikan nafsu untuk memiliki benda dan produk baru yang tak penting-penting banget dalam kebutuhan seharian semestinya dikendalikan. Hal ini dikarenakan konsumsi berlebihan bisa menyebabkan pola hidup boros yang dapat merugikan keluarga maslahah.
Sadar atau tidak sadar bahwa memiliki dan menyimpan barang yang tidak dianggap penting sama halnya merelakan harta kita dirampok di saat semua anggota keluarga maslahah terlelap.
Sebagai contoh kita membeli suatu barang yang sesungguhnya tidak penting sekali, seharga sekian juta atau bahkan sekian miliar. Setelah bosan barang itu dijual dan harganya jatuh di bawah jauh harga sewaktu kita membelinya. Bukankah itu sama halnya kita dirampok saat terlelap tidur?
Oleh sebab itu, sangat tepat apa yang diungkapkan dalam kata mutiara berbahasa Arab: yang artinya: “Dianggap sepele tapi berakibat fatal, membawa kefakiran keluarga. Yaitu beli barang, sekalipun sebutir biji, tapi tak dimanfaatkan dan disia-siakan”.
Kalimat bijak ini membawa pesan, bahwa
besar kemungkinannya kita juga yang senang menimbun kefakiran di dalam rumah kita sendiri. Kefakiran yang disimpan di dalam lemari es, rak sepatu, lemari baju, dan sebagainya.
Semoga kita dapat meningkatkan literasi keuangan keluarga supaya tercipta kemaslahatan keluarga dan kemaslahatan rakyat semesta. Aamiin. **