Kabarexpose.com, Kalteng -Oknum Ditresnarkoba Polda Kalteng diduga menerima sogokan ratusan juta rupiah dan membebaskan AMR. Tidak hanya itu, oknum tersebut juga menjadikan RUS sebagai tumbal dari kasus terkait yang ditanganinya. AMR dan RUS merupakan dua dari 4 orang yang ditangkap personil Ditresnarkoba Polda Kalteng, pada tanggal 4 Desember 2020, lalu.
Mereka berdua ditangkap bersama sepasang suami-istri, berinisial HAB dan DIA. Keempatnya terjaring aparat di salah satu barak (kos-kosan red) di Jalan Penjaitan Selatan Gang A1 Taqwa, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kabupaten Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah.
Penangkapan dilakukan oleh 5 orang personil Ditresnarkoba Polda Kalteng yaitu Ipda Zulkifli Hutagalung, Aipda Sahabuddin Nur, Briptu Arif Budi Laksono, Bripka Herliadi, Briptu Rahmat Hidayat. Kelima personil Ditresnarkoba mendatangi barak yang dihuni pasangan suami-istri (pasutri) yaitu HAB dan DIA, yang pada saat bersamaan di tempat itu juga ada AMR. Adapun RUS, dia ditangkap tidak jauh dari TKP, yakni di sebuah warung yang berjarak sekitar 50 meter dari barak.
Terhadap keempatnya lalu dilakukan penggeledahan. Dalam penggeledahan di tempat tersebut, AMR tertangkap tangan memiliki barang bukti narkoba jenis sabu sebanyak 3 paket dengan berat kotor 15,89 gram.
Selanjutnya, keempat tersangka dites urine. Hasil tes urine mengindikasikan HAB dan DIA positif, sedangkan RUS dan AMR negatif. Selesai tes urine keempat tersangka dibawa ke Hotel Werra, Sampit, untuk dimintai keterangan oleh Polisi.
Berdasarkan kejadian tersebut, Triyono selaku perwakilan keluarga RUS merasakan ada kejanggalan dalam penangkapan RUS. “Pada saat penangkapan posisi RUS di warung yang berjarak 50 meter dari barak. Barang bukti juga tidak ditemukan pada RUS, dan hasil tes urine RUS negatif. Mengapa mengapa RUS ditangkap dan ditahan?” ungkap Triyono kepada awak media, Senin (12/4/21).
Melihat kejanggalan tersebut, Triyono telah mengadukan perihal kasus kriminalisasi RUS ini kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Divpropam Polri) di Jakarta, pada 25 Februari 2021, lalu.
Selain itu, Triyono mengatakan, pada saat dimintai keterangan personil Ditresnarkoba Polda Kalteng, oknum Polisi Briptu Dayat menuduh yang memberikan barang kepada HAB adalah RUS, tapi RUS membantah. Mendengar bantahan dari RUS, oknum tersebut marah dengan nada tinggi dan kata-kata yang tidak sopan membentak dan menyebut RUS ‘kurang ajar’.
Lebih lanjut, RUS pun menghubungi keluarganya melalui sambungan telepon dan memberitahukan tindakan dan ucapan tidak sopan yang dilakukan oknum tersebut serta memojokkan dirinya secara arogan mempengaruhi agar RUS mengakui barang tersebut miliknya. Tidak sampai disitu, Sahabuddin Nur, personil penyidik yang lain datang dan oknum tersebut secara arogan menyuruh RUS harus mengakui barang tersebut dan mengintimidasi dirinya.
Setelah itu, Triyono menambahkan, untuk tersangka DIA dilepaskan dengan tebusan 3 juta rupiah. Tapi pada saat itu HAB hanya punya uang 1,5 juta, lalu DIA pergi keluar menjual HP-nya, kemudian kembali ke Hotel Werra dan menyerahkan uang sebesar 3 juta rupiah kepada oknum Polisi Bripka Herliadi. DIA kemudian dilepaskan, sementara HAB suaminya masih ditahan.
Begitu juga dengan AMR, Ibu kandung AMR datang menemuinya dan menyerahkan uang sebesar Rp100 juta rupiah agar AMR dibebaskan. Setelah menerima uang komandan pun mengeluarkan AMR dari Hotel.
Lalu, oknum Polisi Briptu Dayat memerintahkan RUS untuk melepaskan maskernya, dan oknum tersebut menyerahkan barang bukti tersebut ke tangan RUS, lalu difoto untuk dijadikan dokumentasi, padahal barang tersebut milik AMR.
“Akhirnya RUS ditumbalkan dan dijadikan tersangka, sedangkan DIA dan AMR dilepaskan dari jeratan hukum,” ujar Triyono.
Saat dikonfirmasi oleh awak media, (Jumat, 9/4/21), Ipda Zulkifli Hutagalung mengatakan, “Jika sudah dilaporkan ke Propam, sebaiknya Anda konfirmasi saja ke Pengamanan Internal Polri (Paminal), jangan ke saya. Yang mengatakan itu siapa, narasumber sampean siapa.”
Padahal dalam pelaksanaan tugas, Anggota Polri dilarang menyalahgunakan wewenang dan menerima pemberian berupa apapun. Hal itu merupakan pelanggaran terhadap sumpah yang diucapkan seorang polisi saat akan dilantik menjadi Anggota Polri.
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan tentang sumpah seorang Anggota Polri yang harus dia pegang teguh selama ia menjadi anggota polisi: “ … bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya”.
Kelalaian memegang teguh sumpah Anggota Polri tersebut berkonsekwensi langsung kepada terpenuhinya dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian dan pelanggaran pidana. Dalam KUHP, terdapat pasal-pasal terkait larangan melakukan pungli dan pemerasan antara lain yang terdapat dalam Pasal 368, 415, 418, 423, 425 ayat 1 dan 2, dengan ancaman pidana penjara 7 tahun. (A.Sofian)