Jakarta | KABAR EXPOSE.com —
Di tengah sorotan publik terhadap dugaan tindakan represif aparat dalam mengawal aksi unjuk rasa, jurnalis senior Najwa Shihab melontarkan kritik tajam. Ia menilai kebijakan Polri yang melarang masyarakat melakukan siaran langsung di media sosial saat demonstrasi berlangsung berpotensi membatasi ruang publik untuk melakukan pengawasan.
Menurut Najwa, rekaman warga di lapangan sering kali menjadi bukti penting dalam mengungkap kebenaran.
“Hari ini ramai ketika polisi bilang tidak boleh live TikTok saat demo. Padahal, demo itu hak warga,” ujarnya melalui video di Instagram, pada Minggu (31/8/2025).
Kasus Pejompongan Jadi Sorotan
Komentar Najwa semakin relevan setelah tragedi di Pejompongan, Jakarta, Kamis malam (28/8). Seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob di tengah kericuhan.
Peristiwa tersebut terekam kamera warga dan tersebar luas di media sosial. Video itu tidak hanya memicu kemarahan publik, tetapi juga menjadi bukti penting yang akhirnya menyeret tujuh personel Brimob ke proses hukum.
Najwa menilai tanpa dokumentasi publik, banyak kasus serupa berpotensi tenggelam oleh narasi resmi aparat.
Kekhawatiran Pelibatan Pelajar
Meski begitu, Najwa juga mengakui ada kekhawatiran wajar dari pihak kepolisian, terutama soal keterlibatan pelajar yang ikut aksi karena tertarik popularitas di media sosial.
“Kekhawatiran pelajar ikut-ikutan karena iming-iming hadiah di TikTok itu masuk akal. Mereka paling rentan jadi korban jika terjadi kerusuhan. Perlindungan terhadap anak memang perlu,” jelasnya.
Namun, menurutnya, persoalan inti justru terletak pada transparansi aparat di lapangan.
“Mari jujur, ketika publik merekam dan menyiarkan secara live, itu cara paling ampuh untuk memastikan tidak ada kesewenang-wenangan aparat,” tegas Najwa.
Najwa menambahkan, sejarah demokrasi di Indonesia maupun dunia menunjukkan bahwa rekaman warga sering kali menjadi satu-satunya alat untuk mengungkap kekerasan aparat. Tanpa dokumentasi itu, kebenaran kerap sulit diakses publik.
“Kamera publik harusnya jadi cermin, bukan dihindari. Dengan begitu, warga bisa melihat secara lebih jernih bagaimana negara memperlakukan mereka,” pungkasnya.
Klarifikasi Menkomdigi Meutya Hafid
Gelombang protes warganet atas dugaan sensor konten demo di media sosial akhirnya ditanggapi langsung oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid.
Publik sebelumnya mengeluhkan unggahan terkait demonstrasi sulit dipublikasikan, bahkan beberapa akun mengaku terkena shadowban atau pembatasan jangkauan. Keluhan itu ramai diarahkan ke akun resmi Komdigi hingga Instagram pribadi Meutyall.
Lewat unggahan stories di akun Instagram @meutyahafid, Sabtu (30/8), Meutya membantah pemerintah melakukan sensor konten demonstrasi secara menyeluruh.
“Di luar konten yang informatif, ada beberapa yang disalahgunakan. Ada yang menyisipkan judi lewat gift, provokasi, ajakan kekerasan, bahkan ajakan membakar. Itu yang kami tindak,” tulis Meutya.
Ia menegaskan, pembatasan yang dilakukan bertujuan menjaga ruang digital tetap aman, sekaligus mengacu pada aturan hukum. Menurutnya, praktik semacam ini juga diterapkan di berbagai negara demokrasi lain.
Bantahan Surat Edaran KPID
Isu semakin memanas setelah beredar surat yang mengatasnamakan Komisi Penyiaran Daerah (KPID) DKI Jakarta. Dalam surat itu disebutkan adanya larangan bagi TV dan radio untuk menayangkan liputan demonstrasi di DPR.
Namun, baik Menkomdigi maupun KPID menegaskan bahwa surat tersebut tidak benar.
Ketua KPID Jakarta, Puji Hartoyo, menegaskan, lembaganya tidak pernah mengeluarkan edaran tersebut.
“Tidak benar. Kami tidak pernah membuat edaran melarang TV dan radio menyiarkan demo,” kata Puji saat dikonfirmasi, Jumat (29/8).
Antara Transparansi dan Keamanan
Perdebatan mengenai larangan siaran langsung demo dan isu sensor media sosial menunjukkan tarik-menarik antara kepentingan keamanan dengan prinsip keterbukaan informasi publik.
Di satu sisi, aparat dan pemerintah menekankan perlunya menjaga ketertiban serta melindungi kelompok rentan. Di sisi lain, masyarakat menuntut transparansi agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
Bagi Najwa Shihab, keberadaan kamera publik adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi modern. Sementara bagi pemerintah, pengawasan ruang digital harus tetap dijalankan untuk mencegah penyalahgunaan yang berujung pada ancaman keamanan.. (Hrz/Red).